[Review Buku] Marc Levy — Le Premier Jour
“ Apa yang disebut kecil tak terhingga dan apakah yang disebut waktu nol, waktu saat bermula”
Salah satu hal yang menarik tentang kehidupan seorang manusia adalah awal dari manusia itu sendiri dan awal semesta sebagai tempat hidup umat manusia. Manusia sering mempertanyakan darimanakah mereka berasal dan bagaimana terbentuknya awal terbentuknya alam semesta. Hal masih menjadi obsesi bagi dunia keilmuan itu sendiri.
Dalam menjalani kehidupannya, seorang manusia seringkali mengalami sebuah peristiwa yang terjadi di luar dugaan atau di luar akal sehat manusia itu sendiri. Ketika peristiwa itu telah terjadi sang manusia akan bertanya pada dirinya sendiri atau merenungkan apakah peristiwa tersebut terjadi secara kebetulan atau kah memang Tuhan telah merancang peristiwa tersebut terjadi pada dirinya. Meskipun pada akhirnya semesta tetap menjadi misteri namun dalam prosesnya, manusia bisa mendapatkan sebuah persepsi tentang kehidupan itu.
Le premier jour atau The First Day, Marc Levy mencoba menggambarkan bahwa semesta ini memiliki banyak misteri yang berhubungan dengan kehidupan tokoh utama yang bernama Adrian, seorang akademisi sekaligus ilmuwan astronomi. Ia terobesi oleh salah satu misteri alam semesta dan awal kehidupan manusia. Adrian, dari kecil memiliki obsesi rasa keingintahuan yang besar akan terbentuknya awal semesta.
Rasa penasaran itu lah yang mengiring Adrian untuk melakukan perjalanan lintas benua demi sebuah petualangan untuk mencari jawaban. Dalam prosesnya untuk mengungkapkan misteri semesta itu lah Adrian menemukan sebuah persepsi kehidupan yang berlawanan dengan apa yang ia rasakan sebelumnya. Pertemuannya dengan Keira yang berprofesi sebagai arkeolog menjadi titik balik terbesar dalam kehidupan Adrian.
Buku setebal 488 halaman ini sendiri dihiasi kalimat-kalimat cinta yang mendalam ala orang Perancis yang doyan bermain dunia metafora,
“Kehilangan orang yang kita cintai adalah menyakitkan, tetapi yang lebih menyakitkan adalah tidak pernah berjumpa dengannya”
Buku ini sering dibanding dengan Da Vinci Code karya Dan Brown dan dibumbui aksi ala Indian Jones. Buku ini unsur pengetahuan astronomi dan arkeologi yang mudah dikonsumsi oleh pembaca awam sekalipun. Bagaikan membaca buku karya Carl Sagan dalam bentuk novel romantik yang penuh misteri. Marc Levy sukses menyuguhkan ending kisah roman yang selalu menyentuh hati (menurut saya loh).
Ini novel kedua Marc Levy yang saya baca setelah Sept jours pour une éternité dan novel terjemahan berbahasa Indonesia (dibaca ulang kembali supaya lebih menghayati ketimbang versi bahasa Perancis) penulis kondang Perancis ini. Ada beberapa kalimat favorit saya dalam buku ini;
“Aku akan tetap bersamamu, Cintaku. Hingga akhir hidupku, aku akan selalu menemanimu, bahkan sesudahnya. Aku tidak akan meninggalkanku. Aku menciummu saat air Sungai Kuning menenggelamkan kita dan aku memberi napas terakhirku kepadamu. Udara dalam paru-paruku adalah udaramu. Kau menutup mata saat air menutup wajah kita. Aku tetap membukanya sampai saat terakhir, Aku pergi mencari jawaban atas pertanyaan masa kanak-kanak hingga bintang yang paling jauh, dan kau ada di situ, tepat di sampingku. Kau tersenyum, lenganmu menggelayut di pundakku dan aku tidak lagi merasakan kesakitan. Cintaku. Tali yang mengungkungmu telah terlepas, dan itu adalah saat-saat terakhirmu bersamamu. Cintaku. Aku kehilangan kesadaran saat kehilangan dirimu.”